BIAR BAPAK SAJA YANG MASUK NERAKA
Kata-katanya membungkamku. Tidak
ada lagi lontaran pertanyaan geram yang
kuajukan padanya. Saat ini hanya bisa menggerutu
dalam hati.
Bagaimana tidak aneh. seorang
ayah yang menyuruh anak-anaknya mengerjakan sholat lima waktu, puasa dan ibadah-ibadah
lainnya. Sedangkan ia, tidak bisa
mencontohkankan pada kami sebagai sosok teladan yang baik.
Ia seorang buruh tani yag mengelolah sawah padi
kepunyaan tetangga kami, Pak Haji Darmo. Ketika sore hari seharusnya ia
bisa langsung pulang kerumah. Tapi boro-boro
sholat maghrib. Hobinya yang mabuk-mabukan di warung bang Jamal, sering
menggodanya untuk mampir sebentar ke warung yang menyediakan minuman tuak kesukaannya.
Nilai plus
satu-satunya adalah, bapak anti dengan perjudian,
dalam bentuk apapun. Bapak suka
mabuk-mabukan sampai malam hari, namun
untuk memegang kartu judi saja ia tak doyan. Ntah apa alasannya, tapi ia
selalu bilang tak pernah bisa dan tak tertarik dengan permainan semacam itu. Unik
nih bapakku.
Tapi tetap saja, aku tidak suka
caranya mendidikku. Tak menutup kemungkinan suatu hari aku akan memberontak, lalu mengikuti jalannya. Mabuk-mabukan dan menjadi
perokok berat sepert dia. Malahan belakangan ini, aku sudah mulai coba-coba
merokok. Padahal masih Sekolah Tingkat
Pertama. Dan umurku baru 14 tahun. Ntah
apa jadinya jika ia mengetahui hal ini. Semoga saja tidak. Lagian setiap aku
melakukannya, itu karena geram melihat tingkahnya.
Seperti biasa, ketika adzan maghrib terutama jum’at berkumandang, ia selalu memaksaku untuk segera pergi kemesjid, solat berjamaah.
Tidak lupa juga, menyuruhku untuk tidak
pernah meninggalkan ngaji. Kadang-kadang disaat malasku datang,, adalah waktu
yang tepat untuk membantah perintahnya. Tidak jarang, bantahanku malah menjadi
awal perdebatan kami.
Sore itu ia menyuruhku untuk
bergegas mandi sebelum selesai adzan maghrib. Aku masih asik menonton siaran
favoritku yang selalu tayang saat adzan maghrib. Inilah yang selalu menjadi setan malasku.
“ Udah Adzan, Mad,” gerutu bapak
“Iya bentar, Pak.” Masih santai ngadep tivi.
“Mad, adzan,” sekali lagi bapak
bergeming
“Iya pak. Sebentar”
“ Amad… kamu dengar tidak adzan
maghrib itu? Cepat mandi! Siap-siap sholat!!!”
suaranya tiba-tiba memekik. Kuat.
Aku terkejut. Lalu bangkit segera menuju kamar mandi seraya mengeluarkan segala jurus
omelanku. Kesal melihat bapak yang tak seharusnya menyuruhku beribadah, sedangkan ia masih
sering melakukan hal yang jelas-jelas telah dilarang Allah. Mabuk-mabukan.
Bahkan rokok dua bungkus habis dihisapnya setiap hari.
Walaupun begitu, ia tak pernah
sedikitpun memukulku. Ia hanya tak bosan-bosannya memarahiku, menyuruhku,
membanting segala barang atau menumbuk
dinding kayu rumah kami sampai reyok, jika aku tak menuruti perintahnya.
Suatu hari aku pernah sangat marah padanya. Bahkan sampai
berani melawannya. Mengeluarkan kalimat
yang membuat ayah balik marah besar padaku.
Segala barang yang ada di dekatkan sore itu dibanting. Suara
jeritan-jeritannya yang memekakkan telinga menghiasi suasana maghrib itu.
“Bapak menyuruh anaknya untuk sholat.
Sampai saat ini, apa Bapak pernah melaksanakan sholat?” tanyaku dengan nada
polos, namun membuatnya malah naik pitam.
Aku masih ingat, ketika itu ia
masih makan sore setelah pulang dari kerja. Mendengar perkataanku, piring
berisikan nasi dan lauk-pauk ala kadar yang sedang ia santap, ia
lemparkan kedinding. Bertumpahanlah segala yang ada dipiring, tidak terkecuali
piring kaca itu, pecah berantakan.
Lengkap sudah keributan maghrib itu.
Sebenarnya aku paling takut,
kalau ia sudah marah begini. Tak ada
yang berani berbicara. Ibu hanya diam diujung kursi ruang tamu, Mia adikku yang
masih berumur 10 tahun, berlari ke arah ibu lalu memeluknya.
Aku masih di depan pintu, belum
sempat melangkahkan kaki keluar rumah. Jujur, tanganku gemetaran. Tapi aku
berusaha terlihat santai. Meski aku tak tahu, apa yang akan ia lakukan setelah
ini.
“Bapak sudah lebih dulu merasakan
pahit, asamnya dunia ini. Bapak tahu apa yang bapak lakukan. Saat ini kamu
hanya perlu mematuhi perintah Bapak. Sekolah dan beribadahlah baik-baik. Kamu
tidak perlu khawatirkan diri Bapak. Biar bapak yang masuk neraka, tapi anak-anak
bapak bisa masuk surga. Biar Bapak banting tulang, dan kamu gak perlu tahu seberapa
capeknya badan bapak, yang terpenting kamu dan adikmu bisa tumbuh menjadi
manusia yang berguna dan berakhlak.” Benar-benar nasihat yang mengherankan.
Masih belum berani meihat bagaimana ekspresinya saat ini.
Tiba-iba hening.
Adzan maghrib sudah beberapa
menit yang lalu berhenti berkumandang. Aku masih tetap berada didepan pintu
mendekap sarung hijauku. Tidak terasa air mata ini menetes begitu saja.
Hatiku seakan remuk mendengar
penuturannya. Tubuhku lunglai. Fikiranku
melayang. Dalam hati aku berdoa agar Allah segera memberi hidayah itu pada Bapak. Tak mungkin aku berada di surga dengan
perasaan bahagia, sedangkan bapak menderita di neraka. Ah, tak bisa
kubayangkan jika itu terjadi kelak di akhirat.
Suasana sunyi. Suara Bapak nyaris
tak terdengar. Aku tetap bersikukuh untuk bertahan di pintu. Sedang ibu sudah
mulai beranjak sholat.
Pertanyaannya, dimanakah bapak?
Apa yang ia lakukan saat ini? Mengapa hanya ada senyap setelah tadi ribut tak
karuan. Aku belum berani melihatnya.
Beberapa menit berlalu. Mia
kembali duduk dimeja belajarnya. Lalu menggambar-gambar sesuatu.
Ibu menyapaku dari belakang.
Mendekapku hangat. Lalu mengajakku untuk
beranjak. Menutup pintu dan menyuruh duduk di kursi, di sampingnya.
“Kamu tahu apa yang dibicarakan bapak setiap malam pada Ibu?”
Aku menggeleng lemah.
Ibu menarik nafas panjang, lalu
melanjutkan pembicaraannya. Mengusap-usap pelan kepalaku.
“ Bapak selalu berharap, kelak anak-anaknya
tumbuh menjadi anak yang baik. Bapak tidak ingin kalian merasakan derita yang
ia rasakan sewaktu bapak seumuran kalian
ini.” Mataku melirik heran ke ibu,
Seperti menahan tangis, mata ibu
tak bisa berbohong. Mulai berkaca-kaca.
Ibu menceritakan semua tentang
bapak. Masa kecil sebagai anak yatim piatu. Terbiasa hidup mandiri. Dan
tumbuh menjadi sosok remaja bebas. Ia
sudah minum-minuman keras sejak remaja. Sudah merokok sejak umur 10 tahun. Sebenarnya ini adalah aibnya. Namun ibu tak tahu lagi harus berbuat
apa untuk mencoba memberi pengertian terhadapku.
Terutama pada sifat bapak yang
kasar itu. Katanya bapak masih malu
untuk bertaubat. Bapak masih malu untuk berhadapan dengan Allah. Maka dari itu bapak terus berusaha membentukku menjadi pemuda
islam yang baik dan melek akan ilmu agama serta amalan-amalannya. Agar kelak aku mampu
menjadi perantara hidayah yang diturunkan Allah untuknya.
Oh, bapakku yang malang. Aku baru
mendengar cerita itu dari ibu hari ini.
Benarkah pengharapan bapak itu? Aku tak
habis fikir.
Setelah sholat maghrib,
pelan-pelan aku mengintipnya di kamar. Kata ibu setelah marah-marah tadi, bapak
langsung pergi ke kamar dan tidur. Mungkin ia terlalu lelah.
Amarahnya mungkin
cukup menguras sisa-sisa tenaganya. Apalagi jatah makannya
sudah ia lemparkan ke lantai tadi. Lagi-lagi karena kelancangan mulutku ini.
Kupandangi wajah sendunya. Hanya
ada kerisauan. Matanya terpejam, tapi mimpi buruk itu seperti tak
habis-habis menghantam hati lemahnya.
Aku berjanji tak akan pernah berhenti berdoa untukmu. Agar kau sehat selalu.
Agar kesalahan-kesalahan masa lalumu tak menjadi penghalang alasanmu untuk malu
bertaubat.
what a great story..
ReplyDelete