Hijrah Pelakon Cinta Semu
Sore itu di pekarangan musholah kampus. Angin Ashar memanggil-memanggil bersama dengan suara Adzan yang terdengar syahdu dan lembut.
Lafadz Adzannya sepertinya tidak ada di telingaku. Membawaku pada rasa ingin tahu, ingin melihat siapa gerangan pelafadz adzan yang meneduhkan hati itu.
Lafadz Adzannya sepertinya tidak ada di telingaku. Membawaku pada rasa ingin tahu, ingin melihat siapa gerangan pelafadz adzan yang meneduhkan hati itu.
Tapi alangkah sulitnya mencari alasan untuk melihatnya. Alangkah ragunya mata ini melirik sebentar saja ke arah itu. Ketika lewat setelah mengambil wudhu tadi pun berat rasanya memastikan siapakah gerangan?
Rasa penasaran itu semakin membuncah. Aku ingin menebak, tapi takut salah. Suara yang benar-benar membawa pada satu kenangan yang pernah ingin aku lupakan. Tapi, rasanya itu tak mungkin. Mustahil jika yang kukira-kira ini benar orangnya.
Ketika pelafadzan iqomat , aku berdiri di syaf wanita paling depan. He angin sakit ini memang lebih kencang dari biasanya. Sehingga membuat hijab emas pembatas lelaki dan wanita itu tersingkap meliuk diterpah angin.
Mengalihkan pandanganku sekilas Ke Arah, pemuda Yang Masih membawa microfon tersebut. Berperawakan sedang dan rambut cepaknya, sedikit menambah keyakinan ini. Walau wajahnya masih tak terihat olehku, tapi tetap kemungkinan besar pasti bukan dia yang kumaksud.
Karena begitu banyak hal yang membuat aku tak yakin bisa bertemu dengannya di tempat dan dengan cara seperti ini pula.
Mengalihkan pandanganku sekilas Ke Arah, pemuda Yang Masih membawa microfon tersebut. Berperawakan sedang dan rambut cepaknya, sedikit menambah keyakinan ini. Walau wajahnya masih tak terihat olehku, tapi tetap kemungkinan besar pasti bukan dia yang kumaksud.
Karena begitu banyak hal yang membuat aku tak yakin bisa bertemu dengannya di tempat dan dengan cara seperti ini pula.
“Assalamu'alaikum Akhi? Sehat? ”
Alhamdulillah.
Tak merekomendasikan untuk tetap fokus ke suara-suara itu, namun lagi-lagi setelah shalat ashar selesai, aku kembali mendengar suara yang benar-benar akrab di telingaku itu.
Setelah sedikit mengobrol, akhirnya suara pemuda yang kumaksud itu pun pamit pergi. Ini saatnya. Kumantapkan untuk ikut keluar. Bergegas berlari kedepan, melihat siapakah gerangan sosok pemuda yang akan segera keluar dari Musholah ini.
Alhasil kemudian, ia pun keluar. Kulihat sepintas kearahnya. Masih belum tampak jelas. Aku pura-pura berdiri di depan pintu.
Ya Allah.Ampuni aku.Aku hanya memastikan saja.
Sekali lagi, semoga bisa memastikan. Lalu tidak akan peduli lagi jika nyatanya aku tak mengenalnya.
Benar-benar di luar dugaan. Mata kami beraduh. Ada perasaan yang bergetar hebat di sini, hati. Ada ekspresi wajah yang tak seharusnya seperti ini. Dua tahun berhijrah seharusnya lebih bisa mengendalikan hati ini.
Rahmi. P emuda itu memanggil namaku.
Oh tidak, wajah itu membuatku tak kuasa bertingkah biasa saja. Aku harus pergi.
“Rahmi. Tunggu !! ”
Ini tidak mungkin, ini tidak mungkin.
Meninggalkannya dan meninggalkan musholah ke ruang kelas dengan tergopo-gopo dan nafas yang tersengal. Ada getar lama yang tak mampu kukendalikan. Tidak !!
“Ada apa Mi? Pukul gitu mukanya ” tanya Rere panik.
Ekspresiku mungkin lebih dari sekedar panik.
“Ah, gak mungkin, gak mungkin,” gerutuku sendiri.
Semakin bingung.
Namanya ikhsan Pradana. Dia temanku sewaktu di SMA. Teman dekat yang pernah kucintai. Begitu juga ia. Kami pernah sama-sama seorang pelakon cinta semu. Dengan menyematkan status pacaran pada hubungan kami.
Kami pernah bersama. Pernah mengukir kenangan indah. Walau akhirnya tak membuatku bahagia. Pengkhianatan yang ia perbuat. Sebuah pengkhianatan cinta yang dulu kami sebut perselingkuhan.
Ikhsan adalah pemuda berandal, perokok,
tidak pernah sholat, gaya slengek dan
paling anti dengan kerohisan sekolah. Begitu juga dengan aku, perempuan manja yang
percaya diri bahwa cowok berandal itu
penyayang dan setia. Kenyataannya, aku kecewa!!
Aku patah hati dengan pengkhianatannya. Menjauh darinya. Memutuskan hubungan apapun dengannya. Kecewa
dan sangat kecewa. Hingga kemudian kuputuskan untuk berhijrah. Pelan-pelan
berjalan tanpanya. Menjauh. Walau Ia masih sering ingin bertemu, aku tak pernah
peduli.
Cukup sudah, aku telah berhijrah. Meyakini bahwa cara kami selama ini salah. Mencintainya bukan dengan cara yang fitrah. Itu salah!
Cukup sudah, aku telah berhijrah. Meyakini bahwa cara kami selama ini salah. Mencintainya bukan dengan cara yang fitrah. Itu salah!
Tiga tahun menjalin hubungan
dengannya, sangat sulit untuk benar-benar menghilangkan perasaaan itu. Yang ada
hanya berusaha bisa mengendalikan diri, hati dan perasaan.
Bisa menempatkan semua ini pada satu kata, fitrah. Yang tak harus berlebihan, walau ia tetap bersemayam di dalam hati.
Bisa menempatkan semua ini pada satu kata, fitrah. Yang tak harus berlebihan, walau ia tetap bersemayam di dalam hati.
Begitu pun kenyataan aku tak bisa
mengendalikan diri tadi di depannya. Tak kuduga, ia sampai pada titik ini juga.
Ketidakmungkinan yang kuyakini, kini luntur sudah. Begitu jelasnya ia didepanku
saat itu.
Suara adzan dan salam yang kudengar tadi, baju koko yang ia kenakan, caranya menyapa saudaranya. Dan yang membuatku benar-benar yakin ketika ia memanggil namaku begitu jelas. Apakah benar ia berhijrah juga seperti aku?
Suara adzan dan salam yang kudengar tadi, baju koko yang ia kenakan, caranya menyapa saudaranya. Dan yang membuatku benar-benar yakin ketika ia memanggil namaku begitu jelas. Apakah benar ia berhijrah juga seperti aku?
Sedikit menyesal karena
meninggalkannya begitu saja. Seharusnya bertingkah biasa saja. Bukan dengan
lari-larian seperti ini.Setidaknya tidak melemahkanku hingga harus terfikirkan
seperti ini lagi.
Rencana Allah memang tak pernah
diduga. Ada kalanya hal yang tidak pernah kita sangka sekalipun bisa terjadi, namun
ditangan Allah semua itu mudah adanya.
Hari ini, aku melihatnya lagi di
musholah. Sepertinya ia menjadi penyaji materi di acara kajian organisasi
islam yang kuikuti di kampus. Dia memang benar-benar Ikhsan Pradana. Semoga aku
dan dia bisa menjaga kesucian hati ini. Aku harus membuang jauh-jauh kenangan
buruk bersamanya dulu. Harus!
Istiqomah.
Comments
Post a Comment